ORANG sering menyebut thalasemia mayor sebagai thalasemia saja. Ini
adalah suatu kelainan darah akibat tidak cukupnya hemoglobin sehingga
penderitanya harus mendapat transfusi darah dan perawatan medis secara
teratur. Hemoglobin amat dibutuhkan karena berfungsi untuk mengangkut
oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.
Dunia kedokteran membedakan thalasemia menjadi thalasemia mayor
dengan trait. Mayor berarti menunjukkan gejala penyakit, yang biasanya
sudah muncul sejak usia awal anak-anak. Sedang thalasemia trait-sering
juga disebut minor-digunakan untuk orang-orang sehat, namun dapat
meneruskan thalasemia mayor pada anak-anaknya.
Dalam buku Thalassaemia, Apakah Itu? Mengapa Terjadi? Bagaimana
Mencegahnya? yang diterbitkan oleh Yayasan Thalassaemia Indonesia,
disebutkan bahwa setiap tahun setidaknya 100.000 anak lahir di dunia
dengan thalasemia mayor.
Di Indonesia sendiri, tidak kurang dari 1.000 anak kecil menderita
penyakit ini. Sedang mereka yang tergolong thalasemia trait jumlahnya
mencapai sekitar 200.000 orang. Thalasemia, meski terdapat di banyak
negara, memang secara khusus terdapat pada orang-orang yang berasal dari
kawasan Laut Tengah, Timur Tengah, atau Asia. Jarang sekali ditemukan
pada orang-orang dari Eropa Utara.
Saat ini pengobatan thalasemia mayor di Indonesia masih berupa
transfusi darah, biasanya sekali dalam empat minggu. Anak-anak yang
menjalani transfusi biasanya tumbuh normal dan hidup bahagia hingga usia
dua puluhan tahun.
Namun, untuk hidup lama mereka perlu suntikan desferal hampir setiap
hari. Soalnya, transfusi darah membuat zat besi menumpuk di dalam tubuh,
dan desferal berfungsi membantu mengeluarkan zat besi dari tubuh
melalui air seni. Dengan cara ini penderita thalasemia mayor bisa hidup
normal dan sehat, bisa bekerja, menikah, dan mempunyai anak-anak.
Di negara maju, pengobatan terbaru adalah dengan cangkok sumsum
tulang. Jaringan sumsum penderita diganti dengan sumsum tulang donor
yang cocok-biasanya dari orangtua atau saudara-sehingga mampu
memproduksi sendiri sel-sel darah merah yang cukup mengandung
hemoglobin. Cuma, biayanya memang masih amat mahal.
Mereka yang tergolong thalasemia trait bisa melakukan berbagai
pencegahan agar anak-anaknya tidak menjadi sakit. Salah satunya adalah
menikah dengan pasangan yang berdarah normal. Anak-anak yang dilahirkan
pasangan ini tidak akan terkena thalasemia mayor, meski dapat terkena
thalasemia trait.
Pada suami-istri yang tergolong thalasemia trait, untuk mencegah
kemungkinan melahirkan anak penderita thalasemia mayor bisa dilakukan
dengan perencanaan kelahiran yang teliti. Hal ini bisa dilakukan dengan
bantuan dokter serta seorang ahli genetika.
Pentingnya Mencegah Thalasemia Mayor
Di Indonesia, tidak banyak orang yang paham apa yang dimaksud dengan
penyakit thalasemia mayor. Padahal, di antara kita ada ratusan ribu
orang-orang pembawa sifat thalasemia yang bisa diturunkan kepada
anak-anak mereka.
Biaya yang harus ditanggung untuk pengobatan thalasemia pun sangat
fantastis. Jika 5.000-an penderita thalasemia mendapatkan perawatan
memadai, biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 1,25 triliun per
tahun.
Menurut perhitungan, seorang pasien penderita thalasemia memerlukan
biaya untuk perawatan sebesar Rp 250 juta per tahun. Ini untuk biaya
transfusi darah, peralatan, perawatan, obat desferal, dan keperluan
lain, seperti menyewa/membeli alat pompa infus. Angka tersebut di luar
biaya dokter.
Kenyataan yang memprihatinkan, dari 5.000-an penderita thalasemia
mayor, 85 persen umumnya berasal dari keluarga miskin. Karena
keterbatasan biaya, maka mereka terpaksa menjalani pengobatan secara
tidak maksimal. Suntikan desferal yang idealnya diberikan 20 hari, hanya
bisa 5-10 hari. Dengan realitas seperti ini, sampai umur berapakah
anak-anak penderita thalasemia bisa bertahan?
Ketua Pusat Thalasemia Indonesia Prof Dr Iskandar Wahidijat SpA(K)
memaparkan, thalasemia adalah suatu penyakit genetik/keturunan yang
diturunkan dari kedua orangtua. Kedua orangtua secara klinis sehat,
tetapi karena keduanya sebagai pembawa sifat dan kebetulan gen yang
buruk bertemu pada satu anak, maka ini yang disebut thalasemia mayor.
Yang menjadi masalah adalah ketika si anak menerima gen yang jelek
dari ibu dan ayah. Ini yang berat. Tidak jarang belum berusia satu tahun
sudah harus ditransfusi. Hidupnya bergantung pada transfusi darah
karena umur sel darah merahnya tidak panjang.
Sel darah merah pada orang normal umurnya tiga-empat bulan. Namun,
pada penderita thalasemia, hanya satu-dua bulan sel darah merahnya sudah
hancur. Ini yang disebut anemia. Thalasemia mayor adalah suatu jenis
anemia yang berbeda, disebabkan karena tidak cukupnya hemoglobin.
Harus transfusi
Hampir semua penyakit genetik/keturunan sampai sekarang belum ada
obatnya. Obatnya adalah transfusi darah. Ironinya, pasien thalasemia
justru meninggal karena transfusi, seperti kelebihan zat besi dan
penyakit yang didapat dari donor (hepatitis B, hepatitis C, dan HIV).
Dampak lain transfusi adalah penimbunan zat besi. Akumulasi zat besi
merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari transfusi darah
dan dapat mengancam nyawa, dapat menyebabkan kerusakan hati, jantung,
dan kelenjar hormon.
Tubuh tidak memiliki mekanisme alami untuk membuang kelebihan zat
besi sehingga proses pengikatan zat besi digunakan sebagai pengobatan
yang efektif untuk kelebihan zat besi. Pada proses pengikatan zat besi,
obat mengikat zat besi yang terdapat pada tubuh dan jaringan serta dapat
membantu membuangnya melalui urine atau kotoran. Sejak tahun 1985 telah
digunakan desferal (deferoxamine), yang diberikan melalui infus dengan
pompa yang harganya 350 dollar AS per pompa.
Pemakaian pompa suntik ini menyakitkan bagi anak-anak. Bagian tubuh
yang diinfus menjadi nyeri dan bengkak sehingga mengurangi tingkat
kepatuhan berobat. Ini jelas membahayakan mereka jika tidak rutin
melakukan kelasi/mengeluarkan timbunan zat besi.
Novartis, produsen desferal pun mengembangkan riset dan menemukan
pengobatan oral untuk mengikat zat besi dalam tubuh dengan diminum
sekali sehari, yakni deferasirox (nama generik), yang 20 Mei lalu
diluncurkan di Bangkok, Thailand, untuk kawasan Asia Pasifik. Di
Indonesia, produk ini akan diluncurkan awal Juni 2006.
Dengan obat baru ini, biaya perawatan pasien thalasemia bisa lebih
ditekan karena tidak perlu lagi menggunakan pompa infus yang mahal
harganya. Namun, tetap harus diwaspadai efek sampingnya, seperti mual.
“Kalau obat baru ini bisa di-cover oleh Askes, maka akan sangat
membantu pasien yang miskin, apalagi lebih murah dari desferal,” kata
Prof Iskandar Wahidijat. Menanggapi harapan Prof Iskandar, dr Rosa Ch
Ginting Betr Med MHP, Kepala Divisi Pelayanan Kesehatan Askes Sosial,
menyatakan, pihak Askes akan menilai dulu efektivitas dan keamanan obat
itu.
Pencegahan
Penyakit thalasemia bisa menyebar ke segala aspek. Ke liver, hati,
jantung, dan organ tubuh lainnya. Perlu banyak biaya untuk menanganinya.
Jadi, yang paling penting adalah pencegahan. Kalau pemerintah
melaksanakan pencegahan, biaya yang harus dikeluarkan akan sangat
berkurang. Contohnya di Yunani, Italia, Siprus, dan Turki. Dengan
mencegah kelahiran anak thalasemia mayor, uang yang dihemat luar biasa
besarnya.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus punya program pencegahan.
Di Siprus, mereka berupaya menurunkan angka kelahiran anak-anak dengan
thalasemia mayor hampir 90 persen. Pemerintah pun bisa melakukan
screening atau pemeriksaan darah seperti saat mengambil SIM. Dengan
begitu, masing-masing bisa mengetahui apakah kita pembawa sifat
thalasemia atau bukan. Dengan mengetahui kondisi kita, orang-orang
pembawa sifat thalasemia bisa menghindari pernikahan dengan sesama
pembawa sifat untuk menghindari kelahirkan anak-anak dengan thalasemia
mayor.
“Tentu kita tidak bisa melarang pernikahan sesama pembawa sifat,
silakan saja menikah. Di Siprus, yang beragama Ortodox Yunani, saat
mereka akan menikah, gereja selalu menanyakan: apakah kamu sudah
diperiksa thalasemia? Jika belum, mereka harus memeriksakan diri
terlebih dahulu,” tutur Prof Iskandar.
Jika keduanya ternyata pembawa sifat, tetap diperbolehkan menikah.
Akan tetapi, saat si istri hamil, pada kehamilan 10 minggu dia harus
memeriksakan diri ke pusat thalasemia untuk diperiksa apakah si janin
thalasemia mayor atau tidak.
Pasangan sesama pembawa sifat kemungkinan melahirkan anak yang
menderita thalasemia mayor sebanyak 25 persen, anak yang normal 25
persen, dan anak-anak yang menjadi pembawa sifat 50 persen. Di Siprus,
jika ternyata si janin menderita thalasemia mayor, pusat thalasemia akan
memberikan pemahaman risiko seperti apa yang harus ditanggung orangtua,
termasuk soal tingginya biaya yang diperlukan, mengingat seumur hidup
anak itu memerlukan transfusi darah. Bagi orangtua yang tidak siap
memiliki anak thalasemia mayor, ada pilihan menghentikan kehamilan.
Pencegahan seperti itulah yang dilakukan negara-negara tersebut.
Di Indonesia, pemerintah belum melihat persoalan thalasemia dan masih
sibuk dengan kasus-kasus infeksi. “Jadi, kalau bisa kita cegah. Jangan
menambah pasien thalasemia mayor. Bayangkan, saya pernah ketemu seorang
ibu yang empat anaknya jadi pasien saya. Ibu itu tahu empat anaknya akan
meninggal. Bagaimana perasaannya? Ada lagi yang anaknya 11 orang, lima
di antaranya thalasemia mayor. Bayangkan…,” kata Prof Iskandar
Wahidijat. ( Bukan Iskandar Dorman :-D )
0 comments:
Post a Comment