“Doa qunut witir yang terkenal yang Nabi ajarkan kepada al Hasan bin Ali yaitu allahummahdini fiman hadaita …tidak terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan doa tersebut untuk selain shalat
witir. Tidak terdapat satupun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi
berqunut dengan membaca doa tersebut baik pada shalat shubuh ataupun
shalat yang lain.
Qunut dengan menggunakan doa tersebut di shalat shubuh sama sekali tidak ada dasarnya dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan qunut shubuh namun dengan doa yang lain maka inilah yang diperselisihkan di antara para ulama. Ada dua pendapat dalam hal ini. Pendapat yang paling tepat adalah tidak ada qunut pada shalat shubuh kecuali ada sebab yang terkait dengan kaum muslimin secara umum.
Misalnya ada bencana selain wabah penyakit yang menimpa kaum muslimin
maka kaum muslimin disyariatkan untuk berqunut pada semua shalat wajib,
termasuk di dalamnya shalat shubuh, agar Allah menghilangkan bencana
dari kaum muslimin.
Meski demikian, andai imam melakukan qunut pada shalat shubuh maka seharusnya makmum tetap mengikuti qunut imam dan mengaminkan doanya sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad dalam rangka menjaga persatuan kaum muslimin.
Sedangkan timbulnya permusuhan dan kebencian karena perbedaan pendapat semacam ini adalah suatu yang tidak sepatutnya terjadi. Masalah ini adalah termasuk masalah yang dibolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Menjadi kewajiban setiap muslim dan para penuntut ilmu secara khusus untuk berlapang dada ketika ada perbedaan pendapat antara dirinya dengan saudaranya sesama muslim. Terlebih lagi jika diketahui bahwa saudaranya tersebut memiliki niat yang baik dan tujuan yang benar. Mereka tidaklah menginginkan melainkan kebenaran. Sedangkan masalah yang diperselisihkan adalah masalah ijtihadiah.
Dalam kondisi demikian maka pendapat kita bagi orang yang berbeda
dengan kita tidaklah lebih benar jika dibandingkan dengan pendapat orang
tersebut bagi kita. Hal ini dikarenakan pendapat yang ada hanya
berdasar ijtihad dan tidak ada dalil tegas dalam masalah tersebut.
Bagaimanakah kita salahkan ijtihad orang lain tanpa mau menyalahkan
ijtihad kita. Sungguh ini adalah bentuk kezaliman dan permusuhan dalam
penilaian terhadap pendapat” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/12-13, pertanyaan no 772, Maktabah Syamilah).
Pada kesempatan lain, Ibnu Utsaimin mengatakan,
“Qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab
syar’i yang menuntut untuk melakukannya adalah perbuatan yang
menyelisihi sunnah Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah qunut shubuh secara terus menerus tanpa sebab. Yang ada beliau
melakukan qunut di semua shalat wajib ketika ada sebab.
Para ulama menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan qunut di semua shalat wajib jika ada bencana yang menimpa
kaum muslimin yang mengharuskan untuk melakukan qunut. Qunut ini tidak
hanya khusus pada shalat shubuh namun dilakukan pada semua shalat wajib.
Tentang qunut nazilah (qunut karena ada bencana yang terjadi), para ulama bersilang pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya, apakah penguasa yaitu pucuk pimpinan tertinggi di suatu negara ataukah semua imam yang memimpin shalat berjamaah di suatu masjid ataukah semua orang boleh qunut nazilah meski dia shalat sendirian.
Ada ulama yang berpendapat bahwa qunut nazilah hanya dilakukan oleh penguasa. Alasannya hanya Nabi saja yang melakukan qunut nazilah di masjid beliau. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa selain juga mengadakan qunut nazilat pada saat itu.
Pendapat kedua, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah imam shalat berjamaah. Alasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan qunut karena beliau adalah imam masjid. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda,
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku mengerjakan shalat” (HR Bukhari).
Pendapat ketiga, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah semua
orang yang mengerjakan shalat karena qunut ini dilakukan disebabkan
bencana yang menimpa kaum muslimin. Sedangkan orang yang beriman itu
bagaikan sebuah bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat ketiga. Sehingga qunut nazilah bisa dilakukan oleh penguasa muslim di suatu negara, para imam shalat berjamaah demikian pula orang-orang yang mengerjakan shalat sendirian.
Akan tetapi tidak diperbolehkan melakukan qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab yang melatarbelakanginya karena perbuatan tersebut menyelisihi petunjuk Nabi.
Bila ada sebab maka boleh melakukan qunut di semua shalat wajib yang lima meski ada perbedaan pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya sebagaimana telah disinggung di atas.
Akan tetapi bacaan qunut dalam qunut nazilah bukanlah bacaan qunut witir yaitu “allahummahdini fiman hadaita” dst. Yang benar doa qunut nazilah adalah doa yang sesuai dengan kondisi yang menyebabkan qunut nazilah dilakukan. Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika seorang itu menjadi makmum sedangkan imamnya melakukan qunut shubuh apakah makmum mengikuti imam dengan mengangkat tangan dan mengaminkan doa qunut imam ataukah diam saja?
Jawabannya, sikap yang benar adalah mengaminkan doa imam sambil mengangkat tangan dalam rangka mengikuti imam karena khawatir merusak persatuan.
Imam Ahmad menegaskan bahwa seorang yang menjadi makmum dengan orang
yang melakukan qunut shubuh itu tetap mengikuti imam dan mengaminkan doa
imam. Padahal Imam Ahmad dalam pendapatnya yang terkenal yang
mengatakan bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan. Meski demikian,
beliau membolehkan untuk mengikuti imam yang melakukan qunut shubuh
karena dikhawatirkan menyelisihi imam dalam hal ini akan menimbulkan
perselisihan hati di antara jamaah masjid tersebut.
Inilah yang diajarkan oleh para shahabat. Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat. Adalah Ibnu Mas’ud diantara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut.
Suatu
ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud,
“Wahai Abu Abdirrahman (yaitu Ibnu Mas’ud) bagaimanakah
bisa-bisanya engkau mengerjakan shalat bersama amirul mukminin Utsman
tanpa qashar sedangkan Nabi, Abu Bakar dan Umar tidak pernah
melakukannya. Beliau mengatakan, “Menyelisihi imam shalat adalah sebuah
keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)”